BREAKING

Jumat, 30 Juni 2017

Syarat-syarat Menjadi Wali dan Hikmah Adanya Wali dalam Pernikahan

Pernikahan selain merupakan urusan kehendak yang lahir dari perasaan antara pribadi wanita dan lelaki yang akan menjalaninya, Allah juga menjadikan pernikahan sebagai representasi tanggung jawab seorang ayah atau seorang yang dapat menggantikan posisinya sebagai pihak dari wanita yang akan dinikahkan.

Maka dari itu, seorang wanita tidak boleh melangsungkan akad nikahnya sendiri tanpa adanya persetujuan seorang wali. Pasalnya, seorang wanita memiliki pandangan yang terbatas  meskipun telah dianggap dewasa. Seorang wanita mudah terjebak pada kata-kata rayuan dan tertipu oleh manuver seorang lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia menikah dengan seseorang yang tidak sesuai atau tidak kufu'.dengannya.


Baca Juga

Hikmah adanya rukun nikah yang berupa persetujuan seorang wali ini adalah dapat menghindarkan seorang anak dari dinikahi oleh lelaki yang fasik atau lelaki yang gemar melecehkan martabat seorang wanita. Dengan hikmah ini, maka keterbatasan pemikiran seorang wanita dapat diimbangi dengan kehadiran dan pemikiran seorang ayah atau orang yang dapat menggantikan posisinya dalam aspek wilayah (perwalian). Seorang ayah atau yang dapat menggantikan posisinya dalam perwalian merupakan orang yang benar-benar mempunyai tanggung jawab terhadap wanita yang akan dinikahkan itu.

Pada tahapan selanjutnya, jika ada seorang wanita yang sudah mempunyai calon yang kufu. sedangkan pihak walinya juga mempunyai calon suami bagi anaknya yang juga kufu maka wali lebih berhak untuk menentukan dan menetapkan pilihannya.
Keberhakan yang dimiliki wali ini disebabkan orang tua lebih mengenali pandangannya dan memiliki pandangan luas, lebih mampu bersikap hati-hati dalam mencarikan pasangan hidup untuk anak-anaknya.[1] Dan kemudian wali pun dimasukkan rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Seperti apa yang disabdakan nabi:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya: “Nikah tidak sah kecuali dengan adanya dua orang wali dan dua orang saksi”. (HR. Imam Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Baihaqi)
Adapun seseorang yang boleh menjadi wali ialah seseorang yang memang mempunyai kekuasaan serta sudah memenuhi syarat-syarat  dibawah ini:

 

Sebab-Sebab Kewalian serta Syarat-Syaratnya

Dalam masalah wali tidak semua orang bisa melakukannya, sebab ia memang harus mempunyai hak (wewenang). Wewenang tersebut diperoleh dengan salah satu sebab  di bawah ini.[2]


Pertama : Berstatus sebagai seorang ayah atau kakek (al-ubuwwah)

Ini merupakan sebab yang paling kuat dalam masalah kekuasaan. Otoritas dan wewenang seorang ayah dan kakek lebih kuat dan lebih berhak daripada orang lain. Kedua wali ini oleh ulama diistilahkan dengan wali mujbir, karena mereka mempunyai hak ijbar (wewenang) untuk mengawinkan anak gadisnya.
Hak ijbar tersebut merupakan otoritas seorang wali untuk menikahkan anaknya meskipun masih kecil atau sedang mengalami gangguan mental, (baik masih kecil atau sudah dewasa), yang masih perawan meskipun telah balig dan berakal, yang hal itu dapat dibenarkan meski tanpa adanya persetujuan atau kerelaan dari wanita tersebut.
Hanya saja disunahkan bagi wali atau yang menggantikan posisinya, untuk meminta persetujuan atau kerelaan dari anak gadisnya terlebih dahulu, sebagai bentuk apresiasi seorang ayah kepada anaknya. Sebab anak dan orang tua sama-sama mempunyai peran penting dalam hal ini.
Bagi wali mujbir diharuskan agar memperhatikan ketentuan dan syarat tertentu.  Jika wali mujbir  tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka pernikahannya tidak sah. Ketentuan tersebut adalah:
1.      Tidak  ada permusuhan secara terang-terangan antara wali dan anaknya.
2.   Tidak ada permusuhan antara gadis yang hendak dinikahkan dan calon suaminya, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung.
3.      Gadis yang akan dinikahkan dan calon suaminya memang serasi atau kufu..
4.      Calon suami mampu membayar maskawin.

Di samping syarat di atas juga terdapat syarat lain. Namun syarat tersebut hanya sebatas pendukung, bukan penentu terhadap kesahan sebuah pernikahan. Namun, jika syarat ini tidak dipenuhi  maka seorang wali berdosa atas perbuatannya.  Syarat tersebut adalah :
1.      Dinikahkan dengan mahar mitsil.[3]
2.      Mahar mitsil dibayar menggunakan mata uang negara.
3.      Harus dibayar tunai.[4]

 

Kedua: Berstatus sebagai 'asobah.

Ini merupakan sebab kedua seseorang dapat menyandang status wali dari seorang wanita.  Wali pada status ini berhak menjadi wali jika bapak atau kakek yang sudah disebutkan di atas tidak ada atau tidak memenuhi syarat. Adapun yang dimaksud berstatus wali yang disebabkan karena  menjadi 'asobah adalah:
(1) Saudara kandung;
(2)  Saudara sebapak;
(3) Anak saudara kandung (keponakan);
(4) Anak saudara seayah (keponakan);
(5) Paman, dan;
(6) Sepupu.
Perlu diketahui bahwa semua wali yang dijelaskan di atas merupakan silsilah keluarga  dari pihak ayah dari wanita yang akan dinikahkan. Dengan ketentuan penggunaan hak perwalian harus berurutan sebagaimana halnya dalam masalah waris. Selagi masih ada seorang ayah dan mencukupi syarat maka kakek tidak boleh menjadi wali dan menggantikan posisinya. Begitulah seterusnya.

Ketiga: Berstatus sebagai orang yang pernah memerdekakan.

Seseorang yang pernah memerdekakan seorang wanita berhak  menjadi wali jika wali dari wanita tersebut tidak ada. Kemudian yang berhak menggantikannya adalah 'asobahnya ('asobah dari orang yang memerdekakan) sebagaimana dalam urutan-urutan yang sudah ditentukan. Dengan catatan, orang yang memerdekakan tersebut berupa lelaki. Adapun, jika yang memerdekakan adalah seorang wanita, maka kewaliannya sebagai berikut:
1.      Jika wanita yang memerdekaan masih hidup maka yang berhak menjadi wali dari wanita yang dimerdekakan adalah orang yang berhak menikahkan wanita yang memerdekakan.
2.      Jika wanita tersebut sudah mati maka yang menjadi wali adalah anaknya kemudian bapak, kakek, dan 'asobah-'asobah yang lain.[5]  

Keempat: Berstatus sebagai penguasa (sulthan) 

Ini merupakan sebab yang keempat seseorang dapat menjadi wali dari seorang wanita. Wewenang seorang penguasa untuk menjadi seorang wali didasarkan pada hadis berikut ini:
فَإِنْ اشْتَجَرُوا , فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya: “Maka jika para wali berselisih, maka suthan adalah wali dari wanita yang tidak punya wali” (HR Imam Abu Daud)
 

Adapun yang termasuk dalam kategori Sulthan, ialah seseorang yang mempunyai kekuasaan, baik secara umum seperti pemerintah, maupun secara khusus, seperti halnya penghulu atau petugas KUA.[6]
Apabila wali yang sudah disebutkan tidak ada sama sekali. Atau ada, namun tidak memenuhi syarat-syarat yang akan disebutkan, maka seorang wanita boleh mengangkat seorang lelaki yang adil sebagai walinya atau dalam istilah fiqh-nya disebut Muhakkam.[7]

Masalah wewenang kewalian sebenarnya hampir sama dengan masalah waris. Namun ada beberapa pengecualian. Antara lain sebagai berikut:
1.    Dalam masalah kewalian, kakek lebih diddahulukan daripada saudara kandung. Adapun dalam masalah waris adalah sebaliknya.
2.     Anak tidak boleh menjadi wali dari ibunya, walaupun dalam masalah hak waris anak mendapat bagian harta. Alasannya ialah karena antara anak dan seorang ibu tidak mempunyai hubungan nasab. Hanya saja, jika ia menikahkan ibunya bukan atas nama seorang anak (misalnya atas nama cucu dari paman ibu atau atas nama qodli atau mu’tiq) maka hal itu diperbolehkan.[8]

 

Syarat-Syarat Wali

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali sebagai berikut:
Pertama : Beragama Islam. Seorang nonmuslim tidak boleh menjadi wali dari seorang wanita muslimah karena tidak mempunyai hak, sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain”. (QS. Al-Ma’iddah 51)

Kedua : Balig. Pengakuan dan tindakan seorang yang belum balig tidak dapat diterima (maslub al- ibarah). Maka kewaliannya pun tidak dapat diterima.

Ketiga : Berakal. Orang gila  atau orang yang tidak sempurna akalnya (disebabkan sudah lanjut usia atau yang lainnya) tidak boleh menjadi wali. Hanya saja jika gilanya hanya sebentar, maka dalam hal ini kewaliannya tidak boleh digantikan pada wali-wali yang lain, akan tetapi harus menunggu sampai ia benar-benar sembuh.
Masalah gilanya seorang wali dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Jika kebiasaan gilanya hanya sebentar, misalnya sehari dalam setahun maka kewaliannya tidak boleh digantikan oleh wali-wali yang lain.
b.      Jika masa gilanya lebih banyak daripada masa sembuhnya maka kewaliannya berpindah pada wali-wali yang lain.
c.       Jika masa gila dan sembuhnya sama, maka kewaliannya juga berpindah pada  wali yang lain.[9]

Keempat : Lelaki. Seorang wanita atau waria tidak boleh menjadi wali, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Jika seorang wanita menjadi wali dari wanita lain  atau ia menikahkan dirinya sendiri maka nikahnya tidak sah dan oleh rasulullah hal ini dianggap  menyerupai perbuatan seorang pelacur. Sebagaimana sabdanya:
لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا إِنَّ الْبَغِيَّةَ الَّتِى تُزَوِّجُ نَفْسَهَا
Artinya:  “Wanita tidak boleh menikahkan wanita, juga tidak boleh nenikahkan dirinya sendiri. Sungguh seorang pelacur wanita yang menikahkan dirinya sendiri.”(HR. Baihaqi) 

Kelima : Bersifat adil. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis  nabi:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ
Artinya: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali yang adil” (HR. Baihaqi)

Mengenai hadis di atas Imam Syafii menjelaskan bahwa yang dimaksud waliyun mursyid (wali adil) ialah wali yang tidak tampak kefasikannya, dengan arti wali itu tidak pernah melakukan dosa besar juga tidak sering melakukan dosa kecil. Jika wali yang pertama itu adalah seorang yang fasik maka kewaliannya berpindah pada wali-wali yang lain (wali ab’ad). Hanya saja jika ia bertaubat pada waktu itu (waktu akad) maka ia bisa dikategorikan sebagai wali yang adil sehingga boleh menjadi wali pada waktu itu juga.[10]
Adapun ciri-ciri orang adil ialah tidak pernah melakukan dosa besar seperti membunuh, berzina, memakan harta anak yatim, dan lain sebagainya.  Juga tidak membiasakan dosa kecil seperti melihat wanita yang bukan mahram. Selain tidak fasik wali juga disyaratkan mempunyai sifat muruah[11].


Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Kewalian Berpindah pada Hakim

Di atas telah dijelaskan bahwa seseorang boleh menjadi wali jika telah memenuhi kriteria serta syarat yang sudah ditentukan. Dan di sini perlu dijelaskan, bahwa ketika wali sudah tidak memenuhi syarat maka kewaliannya pun harus ada yang menggantikan. Dan pada saat itulah seorang hakim juga sangat dibutuhkan perannya.

 

Sebab-sebab kewalian berpindah kepada hakim antara lain:

1.    Tidak adanya wali baik secara hukum (memang tidak ada) maupun secara syara' (ada tapi tidak mencukupi syarat).
Dalam artian jika seorang wanita hendak menikah, sedangkan walinya sedang bepergian sampai menempuh jarak yang membolehkannya untuk menjama' atau mengqosor salat, sedangkan wali lain (wali ab'ad) yang berhak menggantikan posisinya  tidak ada atau tidak mencukupi syarat yang sudah ditentukan maka dalam kasus ini kewaliannya berpindah pada hakim.

2.    Wali tidak diketahui kabar beritanya
Dalam kasus seperti ini yang berhak menjadi wali adalah hakim, selama belum dipastikan bahwa ia telah meninggal.

3.      Wali sedang melakukan ihram
Hakim boleh menggantikan posisi wali jika ia sedang melakukan ihram, baik berihram dalam rangkaian ibadah haji maupun  umrah, baik haji dan ihramnya sah atau tidak.

4.      Wali tidak mau menikahkan
Yang dimaksud wali 'adlol, ialah wali yang enggan menikahkan putrinya, sedangkan calon menantu pilihan putrinya  sudah kufu (serasi). Wali bisa dikategorikan adlol jika menolak perintah hakim agar menikahkan putrinya di hadapan hakim. Dalam situasi seperti itu hakim berhak untuk menjadi wali. Jika wali tersebut'adlol sampai tiga kali maka yang berhak menjadi wali  pada saat itu bukanlah hakim, melainkan wali yang lain. Alasannya, ketika wali enggan menikahkan putrinya sebanyak tiga kali berturut turut maka ia telah berbuat fasik. Sedangkan perbuatan yang demikian menyebabkan kewaliannya berpindah kepada wali yang lain (bukan pada hakim).

5.      Wali sedang berada dalam jarak masafatil qoshri (-+82 KM)
Ketika pernikahan akan dilangsungkan, tetapi wali tidak ada di tempat karena sedang bepergian atau menetap di suatu tempat yang jaraknya mencapai -+82 Km. Maka hakim harus menggantikan posisinya dengan dua syarat: wali belum dipastikan meninggal dan dia tidak mewakilkan orang lain untuk menikahkan putrinya pada saat itu.

6.      Bisa menjadi wali dari wanita yang akan dinikahi oleh seorang lelaki, sedangkan lelaki tersebut masih berhak menjadi wali dari wanita yang akan ia nikahinya. Begitu pula jika lelaki tersebut ingin menikahkan putra dan cucu-cucunya dengan wanita yang walinya adalah dia sendiri.
Ini terjadi ketika seseorang mempunyai dua peran. Misalnya, seorang lelaki hendak menikah dengan wanita. Sedangkan ia berhak menjadi wali untuk wanita itu (calon istrinya).  Maka yang berhak menjadi wali dalam kasus ini adalah hakim. Demikian pula jika anak atau cucunya  ingin menikahi seorang wanita. Sedangkan ia  sendiri berhak menjadi wali dari wanita tersebut. (menikahkan cucu dengan cucunya yang lain)

7.      Menikahkan wanita gila yang telah balig.
      Jika ada seorang wanita gila, namun sudah balig maka hakim berhak menikahkannya.

8.    Menikahkan wanita muslimah yang dilahirkan oleh seorang nonmuslim. Hal ini karena seorang nonmuslim tidak boleh menjadi wali dari anaknya yang beragama Islam.

9.      Menggantikan posisi wali yang enggan menikahkan karena tidak mau menghadap kepada hakim, baik ketidak mauannya dikarenakan ia takut menghadap hakim atau memang sengaja tidak mau menghadap tanpa ada alasan.[12]
________________________________________
[1] Al-Bajuri,  juz II hlm.106.
[2] Raudlatut Thalibin, juz V hlm. 401.
[3] Mahar yang biasa diberikan pada wanita yang sederajat dengan istri      atau dengan melihat kerabat-kerabatnya. Lihat al-Bajuri, juz II hlm.122.
[4] Abu al-Abbas az-Zirabi, Ahkam az-Zawaj hlm.172.
[5] Syarqowi Ala at-Tahrir, juz II hlm. 227.
[6] Ibid
[7]al - Bajuri, juz II hlm.106.
[8] Raudlatu at-Thalibin, Juz V hlm. 406.
[9] Syarqowi Ala at-Tahrir, juz II hlm. 228.
[10]Raudlah At-Tholibin, juz V hlm. 410.
[11] Contoh dari sifat muru’ah ialah tidak pernah melakukan pekerjaan buruk, seperti makan minum dipasar, banyak tertawa dan pekerjaan yang menyebabkan hilangnya kewibawaan lainnya, meskipun hal itu bukanlah perbuatan dosa.
[12]Abu al-Abbas az-Zirabi, Ahkam Az-Zawaj hlm.165-167

Posting Komentar

Terkini

 
Copyright © 2016 Abi Hilya