Alhamdulillah.. Dan segala keutamaan semoga selalu dan selalu terlimpahkan pada seorang yang menjadi inspirasi terbesar kita, Nabi Muhammad yang adalah merupakan makhluk paling sempurna selamanya.
Akhirnya… Saya sempat juga untuk sekedar memberikan kata-kata “ngga bermutu” sebagai pengantar untuk buku dari saudara (jauh banget) Syahrul Anam yang biasa saya panggil “Ajay” (entah ada apa dengan nickname itu, karena dari ujung kepala hingga ujung kaki beliaunya sama sekali tidak mirip dengan bintang film Bollywood yang biasanya dengan nama itu menjadi pahlawan dengan dikelilingi banyak cewek cantik dengan bawahan rok serta atasan bra saja.. Entah kalau seperti pemeran figurannya… hee). Sebuah buku bertajuk “Fikih Curhat” yang begitu “tidak biasa” dan punya rasa yang berbeda, walau tentu saja tidak meninggalkan metodologi keilmuannya, yang dalam ranah akademik dikenal dengan istilah filsafat ilmunya, dengan segala substansinya.
Terlepas dari karyanya, saudara saya yang satu ini juga memperkuat thesis saya, bahwa yang benar itu adalah: jangan pernah melihat sesuatu dari luar dan kemasannya saja! Berangkat dari keluarga sederhana (aslinya bukan seperti itu, karena sederhana bagi saya adalah pilihan. Sedangkan Ajay dan keluarganya ini hidup “menderita” sepertinya bukan karena pilihan melainkan keterpaksaan. Jadi, belum tentu mereka tidak hedonis jika mereka merupakan pemilik dari saham mayoritas katakanlah perusahaan seperti Jawa Pos) dan dengan “casing” yang agak kurang meyakinkan, orang ini ternyata mmpu menjadi Direktur dari organisasi “terhebat” di Bata-bata yang begitu saya banggakan, kumpulan orang-orang dengan otak kanan-kiri dipenuhi referensi dan imajinasi dan tentu saja, jarang mandi: M2KD… Sesuatu yang mungkin begitu “menakjubkan” bagi kebanyakan santri masa kini yang semakin tidak bermutu. Namun, hal biasa untuk saya yang Rektor dan Alhamdulillah disukai banyak orang ini (sebelum dituduh narsis, tolong dibaca: sering berinteraksi dengan banyak orang hebat sehingga menjadi lebih mudah belajarnya). Dan jika anda tanya kenapa bisa begitu? Maka yang pertama keluar dari jawaban saya adalah: kenapa tidak begitu ? Secara…
Syahrul Anam atau Ajay ini adalah orang “biasa-biasa” saja. Bukan dari kalangan “jetset” pesantren yang sekarang ini sudah terlampau sibuk dengan hal-hal yang mungkin saja penting tapi malah melupakan hal-hal yang lebih penting lagi, substansi atau esensi dari pesantren itu sendiri, kompetensi keilmuan keagamaan.. Politik, hedonisme, kompetisi pragmatis dan apalah namanya Ternyata terbukti sukses “mengalihkan” konsentrasi mereka. Jadi, wajar bukan kalau hal-hal “sepele” seperti yang ada di buku ini menjadi ada diluar jangkauan “radar” mereka
Sebagai penguat dari hal di atas, sebagai orang “biasa” yang identik dengan perjuangan, teramat wajar pula (kalau tidak mau dikatakan wajib). jika Ajay ini, menjadi orang yang kreatif. Dia bukan –maaf- Lora yang sudah mempunyai “kapling” dalam hampir segala ranah kehidupan kita. Dia adalah seseorang yang oleh San Chai diibaratkan sebagai rumput liar yang harus bertahan dalam banyak kekurangan. Kurang lebih hal inilah (walau masih banyak lagi determinan yang lain, namun sepertinya hal ini cukup sebagai pengingat) yang menjawab begitu banyak pertanyaan kenapa putera-putera mahkota pesantren banyak yang sepertinya tidak siap dan tidak akan siap menjadi suksesor… Ironis bukan? Lagi-lagi, walau denger-denger, katanya Allah menyukai ironisme… (al-‘Aksu wal Thordu).
Dan sekarang pada substansi buku ini. Dari judulnya yang nyeleneh saja, kita sudah dibawa pada pemahaman awal, bahwa buku ini tidak sama dengan literature yang lain. Dan memang, hal itu merupakan bagian yang saya sukai dari buku ini. Dan letak ketidaksamaannya dengan yang lain, yang paling jelas dan syukurlah menjadi garis besar buku ini adalah kontemporernya! Sederhana bukan? Tapi itulah yang dahsyat…
Begitu banyak kita menemukan banyak masalah yang ada di sekitar dan belum “terpecahkan” secara fikih yang memuaskan rasa haus kita pada jawaban yang runut, sistematis, metodologis, dan tentu saja, tidak hanya rasional. Disinilah kreatifitas Ajay muncul dan menjadi nilai jual yang patut diapresiasi. Walau tentu saja kadang masih sedikit terasa sentuhan pemulanya. Lha yang bikin kata pengantarnya saja juga masih pemula…
Membaca buku ini menyenangkan. Mendidik. “Mengenyangkan”. Adanya ibarat yang tidak diharkati, merupakan sebuah stimulasi yang baik bagi kita untuk lebih belajar lagi ilmu-ilmu alat yang harusnya kita mahir dengannya sebagai syarat mutlak penguasaan ilmu agama. Menyenangkan karena sentuhan anak mudanya dapet banget. Dan karena saya juga masih bisa dikatakan muda, itu menyenangkan. Hanya saja, akan jauh lebih menyenangkan jika anda tidak hanya membacanya, tapi juga membelinya! Hal kecil yang akan mendorong sesuatu yang jauh lebih besar… Percayalah.
Akhirnya, selamat tambah pintar.. Dan tetaplah percaya, bahwa segalanya bisa kalau kita ada kemauan. Tetaplah juga percaya bahwa tidak semuanya diukur oleh apa yang tampak dan terlihat. Semuanya adalah Allah…
Posting Komentar