Ngaji Online. Deceritakan tentang seorang Allamah yang bernama maula Muhammad Taqi Isfahani atau yang lebih dikenal dengan al-Majlisi al-Awwal. Ketika putranya berumur kurang dari tujuh tahun, sehari-hari ia pergi bersama putranya ke Masjid. Pada suatu ketika putranya tidak masuk ke masjid bersamanya. Akan tetapi putranya memilih untuk bermain di halaman masjid. Di halaman masjid terdapat ghirbah (tempat air yang terbuat dari kulit) milik seorang laki-laki yang bekerja memberikan minum dan menyegarkan dahaga manusia. Putranya mendapatkan sebuah jarum dan menusukkannya di ghirbah itu. Putranya mulai senang melihat air memancar dari lubangnya dan tumpah keluar hingga air di ghirbah tersebut habis dan tumpah ke tanah.
Laki-laki pembagi minum itu datang dan melihat ghirbah-nya berlubang dan airnya tumpah. Maka ia pun menanyakan pelakunya, sesaat kemudian ia baru mengetahui bahwa pelakunya anak al-Allamah al-Majlisi. Beritanya pun tersebar di masjid dan perlahan sampai pada pendengaran al-Allamah al-Majlisi, sehingga ia sangat risau dan sedih terhadap persoalan itu.
Ketika pulang kerumahnya, ia memanggil istrinya dan mengatakan kepadanya “Aku memelihara ajaran-ajaran Islam sebelum pembentukan nutfah (sperma) dan di saat pembentukannya. Aku telah menjaga diri dari makanan haram serta memlihara tata cara syariat. Apa yang diperbuat anak itu di masjid hari ini adalah karena dosa yang kau telah perbuat atau kesalahan yang kau lakukan”.
Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Pikirkan dengan benar-benar dan ingatlah apa yang telah kau lakukan”. Segera terlintas pada ingatan istrinya tentang kejadian. Maka ia menoleh kepada suaminya sambil berkata, “Ya, itu adalah kesalahanku”
Kemudan istrinya menceritakan secara rinci, “Ketika saya mengandung anak kita, saya pergi untuk suatu pekerjaan kerumah para tetangga. Sewaktu saya pulang dan melewati rumah mereka, terdapat sebuah pohon anggur, maka saya berhasrat untuk memetik salah satu anggur yang saya kira masam. Wanita hamil seperti saya berhasrat sekali terhadap yang masam-masam. Lantaran itu saya lubangi anggur itu yang masih tetap berada di pohonnya dengan sebuah jarum yang saya miliki. Lalu saya hisap sedikit. Saya perhatikan ternyata rasanya manis, maka saya tinggalkan anggur itu dan pulang ke rumah . Saya tidak memberitahu kepada pemilik anggur itu dan tidak meminta izin kepadanya tentang perlakuan saya.
Kisah di atas cukup dijadikan pelajaran. Sebab kita saksikan bagaimana satu hisapan dari sebuah anggur yang belum diketahui kehalalannya dapat merpengaruhi terhadap janin yang dikandung dalam perut ibu, dan bagaimana pengaruh maksiat ini secara peraktis berpindah pada prilaku seorang anak.
Sumber Kitab Tarbiyyah At-Thifl Fir-Ru’yah Al-Islamiyyah. Hal 72-73
Posting Komentar