BREAKING

Kamis, 13 Juli 2017

Poligami dalam Islam dan Hikmah Disyariatkannya

Ngaji Online- Sahabat Ngaji Online yang senantiasa selalu dalam lindungan Allah SWT. Pada kesempatan kali ini Ngaji Online akan membahas seputar poligami.

Pembahasan tentang poligami sebenarnya bukanlah hal yang tabu lagi bagi kita, hanya saja Ngaji Online pada kesempatan ini ingin mengkaji dan berbagi pada pembaca sekalian tentang kedudukan poligami dalam Islam dan apa sebenarnya hikmah dan tujuan Allah SWT menyariatkan poligami.
  

Tentang Poligami

Praktik poligami atau menikahi lebih dari satu wanita sudah lama dikenal bahkan sebelum datangnya Islam.Pada masa itu, wanita yang dipoligami cenderung diperlakukan tidak manusiawi, dan jumlah berapa wanita yang boleh dipoligami pun tidak diatur.Pada masa itu seorang laki-laki bisa seenaknya memperistri berapapun wanita yang ia mau, dan tidak  perlu memperlakukan wanita-wanitanya secara baik, karena wanita masih dianggap sama seperti harta benda lainnya. Parahnya,ketika seorang ayah meninggal, anak dapat mewarisi wanita-wanita yang dipoligami ayahnya.

Baca Juga
Syarat-syarat Menjadi Wali dan Hikmah Adanya Wali dalam Pernikahan
Islam tidak melarang praktik poligami, karena poligami merupakan alternatif dalam mengatasi problematika sosial, dimana laki-laki umumnya memiliki kecenderungan seksual yang lebih tinggi daripada perempuan.Hanya saja praktik poligami dalam Islam tidak sama dengan poligami yang dijalankan pada masa sebelum-sebelumnya. Dalam Islam praktik poligami dibatasi, yaitu seorang laki-laki hanya diperkenankan beristri empat saja.Lebih dari empat hukumnya haram.

Meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam, bukan berarti seorang laki-laki lantas wajib beristri lebih dari satu.Poligamidiperbolehkan sebagai solusi semata, bukan sebuah keharusan.Oleh karena itu hendaknya kita kembali pada nas yang menerangkan hal tersebut.


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِى اليَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُم أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةٌ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُكُمْ

Artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak ) wanita yang yatim (bila kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Qs. an-Nisa’:03)

Ayat di atas tidak menjelaskan mengenai aturan dalam poligami, karena memang poligami sudah dikenal dan dilaksanakan masyarakat sebelum Islam datang.Ayat di atas juga tidak berisi anjuran untuk berpoligami. Ayat di atas sekedar berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilakukan dengan syarat yang tidak ringan yaitu mampu bersikap adil kepada semua istri.

Ada memang anggapan bahwa poligami adalah anjuran dengan melihat redkasi al-Quran yang memakai kalimat matsna wa tsulatsa wa ruba' (dua, tiga, dan empat),yang kemudian baru diikuti fa-in khiftum alla ta'dilu fawahidah (jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja). Anggapan ini menyatakan bahwa al-ashlu fizzawaji  at-ta'addud (asal dari pernikahan adalah poligami).Memang apabila dilihat dari redaksi, makna ayat, atau pun realitas sosial yang ditemukan pada saat ini, dimana perbandingan wanita dan lelaki hampir empat berbanding satu, sepertinya anggapan tersebut benar.Namun begitu anggapan tersebut tidaklah benar.Titik tekan pada ayat di atas adalah tuntutan berlaku adil.Padahal berlaku adil bukanlah perkara mudah.

Dalam redaksi ayat kata matsnawa tsulatsa wa ruba' itu mirip ucapan seseorang yang melarang untuk makan makanan tertentu. Maka, untuk menguatkan larangan itu ia berkata, "Jika Anda khawatir sakit jika makanan ini Anda makan, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda."Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu tak lain hanya sekadar menekankan untuk tidak makan makanan tertentu. 
Maka dari itu, sekali lagi, hukum berpoligami bukan dilarang bukan pula dianjurkan, selama orang itu mampu berlaku adil maka boleh-boleh saja.Namun jika orang itu mempunyai dugaan atau bahkan yakin dirinya tidak dapat berlaku adil maka hukumnya haram.  

Hikmah Poligami

Ada beberapa hikmah diperbolehkannya poligami, antara lain:
1.    Untuk memperoleh keturunan. Memperoleh keturunan merupakan salah satu tujuan dari pernikahan.Oleh karena itu, dalam kasus seorang suami yang subur sementara istrinya mandul, maka dengan berpoligami setidaknya harapan suami untuk memperoleh keturunan dapat terwujud.
2.    Untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Dengan berpoligami, maka istri yang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya sebagai istri karena mengalami cacat biologis yang tidak dapat disembuhkan, tetap mendapatkankan haknya sebagai istri, karena tidak diceraikan.
3.    Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan zina dan krisis moral lainnya. Data statistik di beberapa negara Barat yang melarang poligami menunjukkan, bahwa angka prostitusi dan freesex cukup tinggi. Misalnya di Prancis 30%, Australia 50%, di Belgia 60%.
4.    Menyelamatkan kaum wanita yang tinggal di negara/masyarakat yang wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya dari krisis moral.

Hukum Menikah Lebih dari Empat Wanita

Para ulama berpendapat bahwa seorang lelaki merdeka yang mampu berlaku adil diperbolehkan menikahdengan empat wanita.Sedangkan bagi seorang hamba sahaya hanya diperbolehkan dua saja.Namun masih ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa batas maksimal berpoligami bukanlah empat tapi bisa lebih. Pendapat itu diantaranya dikemukakan oleh:
1.  Golongan Khawarij. Mereka menyatakan batas maksimal poligami ialah sembilan. Mereka menginterpretasikan ayat فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ (Nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat) secara tekstual saja, sehingga menurut mereka ayat itu secara tidak langsung memberi pemahaman “Nikahilah wanita-wanita yang engkau senangi dua, tiga, dan empat,” yang jika dijumlahkan semuanya menjadi sembilan.

2.    Ar-Rafiddah (Syiah ekstrim) dan sebagian pengikut ad-Dhahiry. Mereka berpendapat bahwasanya lelaki boleh menikah sampai dengan delapan belas.Mereka beralasan kalimat matsna, wa tsulatsa, wa ruba’ adalah kalimat adat (hitungan) yang biasa dipakai oleh orang Arab untuk hitungan "dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat" yang jika dijumlahkan semuanya adalah delapan belas.
Begitulah pendapat mereka yang kebanyakan masih awam dalam memahami dan menginterpretasikan ayat al-Quran.Pendapat mereka hanya sebatas tekstual saja dan tidak prinsipil karena mereka enggan merujuk pada ulama-ulama yang otoritatif dalam bidangnya.

Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi sedikit berkomentar mengenai pendapat mereka dan beliau membantah keras pendapat-pendapat mereka.Beliau menyatakan bahwa ayat di atas tidak boleh diinterpretasikan seperti itu.Kalau melihat kembali pada kisah seorang lelaki dari Bani Tsaqib yang bernama Ghilan maka kenyataannya tidak seperti itu. Pada saat masuk Islam ia mempunyai sepuluh istri. Kemudian Nabi menyuruhnya untuk memilih empat di antara para istri-istrinya dan menceraikan sisanya.  Sebagaimana sabda Nabi:


اَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
Artinya: “Pertahankan yang empat dan ceraikan sisanya.” (HR. Imam Baihaqi)

Hadis ini mengindikasikan bahwa seorang lelaki hanya diperbolehkan menikahi empat istri saja.Maka dari itu pendapat mereka jelas salah karena kebanyakan mereka hanyalah sebatas menginterpretasikan al-Quran secara tersurat.Hal itu tidaklah mengherankan karena mereka memang golongan-golongan yang anti terhadap otoritas hadis.

Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata golongan Khawarij juga menolak hadis-hadis Nabi Saw.Hal itu baru terjadi setelah adanya arbitrase (keputusan hukum) oleh Abu Musa al-Asy'ari (dari pihak Ali) dan Amr bin al-Ash (dari pihak Muawiyah), yang menyudahi perang saudara antara Sayyidina Ali ra dan Sayyidina Muawiyah ra.

Kalangan Khawarij tidak setuju terhadap keputusan hukum itu. Menurut mereka keputusan dua juru hakim itu tidak merepresentasikan keputusan hukum Allah, melainkan keputusan politik yang diambil manusia.Karena itu kemudian Khawarij memberontak dan menilai bahwa siapa saja yang menyepakati keputusan dua juru hakim itu adalah fasik dan kafir.Dari sini kemudian Khawarij menganggap bahwa mayoritas sahabat dan umat Islam yang terlibat atau setuju dengan keputusan itu tidak adil, karena itu hadis-hadis mereka harus ditolak.

Selain Khawarij, ar-Rafiddah juga termasuk mengebiri serta mematikan peran hadis sebagai hujjah dalam beragama.

Sudah maklum bahwa kalangan ini mengafirkan seluruh sahabat pasca wafatnya Nabi, kecuali segelintir dari mereka yang dianggap masih memiliki loyalitas terhadap Sayyidina ‘Ali. Dalam pandangan mereka Ali dianggap sebagai satu-satunya orang yang mengantongi wasiat langsung dari Nabi untuk menjadi pengganti beliau. Tetapi para sahabat menyembunyikan dan mengingkari wasiat ini. Bahkan tiga khalifah sebelum Ali dituduh telah merampas hak Sayyidina Ali secara zalim.
Karena menurut mereka mayoritas sahabat telah kafir maka otomatis hadis-hadis mereka ditolak secara total tanpa terkecuali. Yang diterima hanya hadis dari ahlulbait dan sejumlah sahabat yang dianggap masih loyal terhadap ‘Ali, seperti Musa al-Asy'ari, Miqdad bin Aswad, dan Salman al-Farisi. Pedoman mereka adalah: "Barangsiapa yang tidak membela Ali berarti telah mengkhianati Rasulullah dan telah mencabut hak imam."

Sebenarnya banyak ulama yang memberikan jawaban secara ilmiah terhadap pendapat mereka.Bahkan Imam as-Suyuthi dalam karyanya Miftahul Jannah filIhtijaj bis-Sunnah memberi pernyataan bahwa sebagian kelompok Syiah ekstrem (ar-Rafiddah) mengingkari fungsi hadis sebagai rujukan otoritatif dalam agama, dan hanya mencukupkan dengan al-Quran sebagai rujukannya. Mereka juga berpendapat bahwa kenabian itu sebenarnya milik Ali, karena Jibril telah keliru dalam menurunkan wahyu kenabian kepada Nabi Muhammad Saw.Oleh karena itu  kalangan Syiah sama sekali tidak pantas untuk dipercaya dan dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum.

Namun tak kalah awamnya jika ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa beristri lebih dari empat itu adalah anjuran dengan alasan bahwa hal itu pernah dilakukan Rasulullah Saw semasa hidupnya. Memang benar Rasulullah mempunyai istri lebih dari satu.Akan tetapi apakah hal itu cukup tepat untuk dijadikan alasan.Karena semua perbuatan Rasulullah Saw belum tentu harus ditiru.Sebagaimana tidak semua perkara yang wajib atau yang haram bagi beliau menjadi wajib dan haram pula bagi umatnya.

Bukankah shalat malam, shalat Duha, berkurban, bersiwak, melakukan musyawarah, dilarang menerima zakat, dan lain semacamnya adalah amalan yang wajib Nabi kerjakan? Bukankah tidurnya juga tidak membatalkan wudunya?Jelaslah bahwa pernikahan beliau dengan istri-istrinya merupakan kekhususan dan keistimewaan beliau, yang tidak boleh ditiru oleh umatnya. Lagi pula pernikahan beliau dengan istri-istrinya bukan didorong oleh motif untuk memuaskan kebutuhan biologisnya belaka. Jika motifnya memang demikian, tentunya Rasulullah Sawakan menikahi gadis-gadis kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Rasulullah masih berusia muda.

Selain ‘Aisyah r.ha  para istri Nabi merupakan janda, dan semua itu semata-mata untuk menyukseskan dakwah dan politiknya. Atau membantu dan menyelamatkan wanita-wanita yang kehilangan suami, yang umumnya dikenal sebagai wanita yang tidak memiliki daya tarik lagi.

Lalu jika seseorang bertanya,“Mengapa Islam membenarkan pria menikahi empat orang wanita dalam waktu bersamaan, sedangkan wanita hanya diperbolehkan menikah dengan seorang pria saja?"Kita jawab bahwa menurut pendapat ilmuwan, secara fitrah laki-laki cenderung berpoligami dan wanita cenderung bermonogami. Bisa saja ia menolak jawaban ini. Maka untuk meyakinkannya sebaiknya dengan mengundang penanya untuk melihat kenyataan sosial secara realistis atau dengan cara mengajukan pertanyaan, “Mengapa negara-negara yang melegalkan prostitusi melakukan pemeriksaan rutin terhadap kesehatan wanita-wanita yang berbuat seks bebas, sedangkan hal itu tidak dilakukan terhadap pasangan sah?"

Kenyataan itu menunjukkan bahwa wanita hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan bersih (sperma) seorang pria saja. Ketika ia terlibat hubungan seksual dengan dua orang pria maka cairan yang dihasilkan dari kedua orang itu merupakan benih anak yang tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan terjangkit penyakit yang membahayakan.

Kenyataan menjadi bukti yang sangat jelas menyangkut hal ini.Mungkin dari itu pula, Allah Swt memerintah wanita yang ditalak suaminya untuk ber-‘iddah.Bukankah tujuannya karena semata-mata untuk memastikan bahwa rahimnya sudah bersih. Jika rahimnya belum bersih (tidak ber-‘iddah) dan ia menikah lagi maka dikhawatirkan terjadi percampuran dua sperma yang secara medis tidak dibenarkan karena sangat membahayakan.

Demikian sekelumit tentang poligami dalam pandangan Islam dan hikmahnya. Mudah-mudahan bermanfaat dan tidak lagi disalah fahamkan.
Baca Juga Al-Qur’an Melarang Menikahi Wanita-Wanita Ini, Ternyata Ini Alasannya

Posting Komentar

Terkini

 
Copyright © 2016 Abi Hilya