BREAKING

Rabu, 14 Desember 2016

Tentang Kiaiku, RKH. Abdul Hamid AMZ


RKH. Abdul Hamid Bin Achmad Mahfudz Zayyadi merupakan pengasuh ke empat di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan Madura. Adapun silsilah nasab beliau dari ayahandanya adalah beliau putra dari Kiai Ahmad Mahfudz bin Kiai Zayyadi yang menikah dengan Nyai Salma. Sedang Nyai Salma adalah kakak tertua dari Kiai Abdul Majid, kakek Kiai Abdul Hamid. Sedangkan dari jalur ibu bernama Nyai Tuhfah, putri Kiai Abdul Majid, pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-bata.

Dari kedua jalur ini, akhirnya bertemu di Kiai Abdul Hamid bin Istbat Banyu Anyar, pengarang kitab Tarjuman yang sangat terkenal pada zamannya.Dengan kata lain, kedua orang tua Kiai Abdul Hamid masih terhitung sepupu. Demikianlah sekilah silsilah nasab kiai Abdul Hamid yang saya baca dari berbagai sumber.

Dalam tulisan kali ini saya akan bercerita tentang sosok Kiaiku RKH. Abdul Hamid AMZ, sebagaimana judul dari tulisan ini. Meski saya sadar bahwa beliau belum tentu bangga punya santri seperti saya, namun yang jelas saya sangat bangga punya Kiai seperti beliau. Meski beliau tidak kenal siapa saya, dari mana saya namun yang jelas pula saya adalah salah satu ribuan dari santri yang ketika beliau mendokan para santrinya, mendoakan kebaikan, kesuksesan, dan keberhasilan para santrinya, saya pun termasuk di dalamnya.

Sebelum saya menceritakan panjang lebar tentang sosok RKH. Abdul Hamid, maka terlebih dahulu saya ceritakan latar belakang saya dan awal mula saya mendengar nama kiai Abdul Hamid.

Jujur, saya tidak pernah tahu sosok beliau sebelumnya. Pun tidak pernah mendengar tentang beliau, dikarenakan mungkin secara geografis tempat tinggal saya terletak di desa terpencil yaitu di desa Sogian Kec. Omben Kab. Sampang, ditambah lagi kebiasaaan masyarakat di desa saya yang hanya memondokkan anak-anaknya di sekitar desa tersebut. Ya bisa dikatakan hanya orang-orang tertentulah yang tahu tentang sosok dari Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata pada saat itu.  Bahkan nama Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata baru saya dengar sekitar tahun 2000, yaitu di saat saya masuk janjang MTs di Pondok Pesantren Nurul Iman di desa saya.

Sejak itulah, tepatnya sejak tahun 2000 saya mempunyai keinginan kuat untuk menjadi salah satu bagian dari santri Mambaul Ulum Bata-Bata. Mimpi itu pun akhirnya menjadi kenyataan. Pada tahun 2004, saya meninggalkan kampung halaman, teman, dan para guru demi melanjutkan perjalanan saya untuk mencari ilmu di Desa Panaan Palengaan Pamekasan yang di tempat inilah pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata berdiri.

Pada saat itulah, ketika saya diantar oleh orang tua saya untuk menjadi santri baru di Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata, barulah saya melihat sosok RKH. Abdul Hamid AMZ yang karismatik. Pada saat itulah sebagaimaa umumnya para calon wali santri, orang tua saya meminta izin kepada beliau agar saya diterima sebagai santrinya. Setelah itu saya sungkem sambil mencium tangannya dan tidak ada kata yang saya dengar dari dawuhnya kecuali beliau bertanya “Mau mondokkah”? “Iya Kiai” Jawab saya. “Iya, semoga betah”. Beliau menimpali. Itulah awal mula saya bertemu dan sowan kepada RKH. Abdul Hamid AMZ.
 
Mulai saat itulah saya resmi diterima di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, resmi menjadi bagian dari ribuan santri Kiai Abdul Hamid, pun resmi menjadi bagian dari santri yang selalu siap menimba ilmu, menanti siraman rintik-rintik dawuh kebijakan dan kebajikan[h1]  dari para ustadz dan paraguru diPondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.

Saya pun tinggal di asrama/blok P tepatnya di kamar P nomor 4 lah saya tinggal bersama teman-teman yang berasal dari Pulau Masalembu Sumenep. Saya rasa suatu keburuntungan bagi saya sebab saya bisa ngumpul bersama teman-teman yang bukan berasal dari satu kabupaten bahkan satu kampung.

Bahkan bukan itu saja, dari asrama itu saya bertemu dengan teman-teman yang berasal dari Kecamatan Blega karena pada saat itu asrama/blok P bisa dikatakan didominasi para santri asal Blega Bangkalan yang saat itu saya akui kekompakan dan semangat keorganisasiannya sangat kuat. Lagi-lagi itu sebuah keberuntungan bagi saya. Jika tidak, mungkin pengalaman saya hanya seputar dan berputar di situ-situ saja dan yang terpenting saya telah dipertemukan dengan teman-teman yang latar belakang berbeda dan mungkin pola pikirnya berbeda pula.Ternyata pun sampai saat inisaat berada di perantauan kadang saya lebih suka memperbanyak intraksidengan orang-orang lain daerah seperti Bugis, Jawa, Banjar. (sedangkan berintraksi dengan orang Madura bagi saya bukan masalah suka atau tidak suka sebab itu bagi saya adalah keharusan).

Begitulah sekelumit tentang awal-awal saya masuk dan berada dipondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Jujur ternyata tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, dulu saya kira cukup betah ada di pesantren siapapun langsung menguasai berbagai fan ilmu tanpa harus melalui proses belajar. Ternyata tidak seperti itu! Hari demi hari pun terasa sangat berat saya jalani rasa tidak betah pun kerap kali datang mendera, maklum saat itu sebagai santri baru saya tidak langsung masuk kelas akan tetapi harus menunggu tes kelayakan masuk kelas.

Atas saran dari keluarga yang pernah mendengar bahwa di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata menerapkan sekolah yang berlevel yaitu level A dan level B, akhirnya saya pun disuruh masuk ke level B yang pelajarannya sedikit agak berat daripada level A (bagaimana tidak dikatakan berat jika mau naik jenjang harus menghafal kitab Sorrof dan Alfiyah). Saya pun mengikuti keinginan keluarga dan memilih tes di kelas VI MI, tapi takdir berkata lain saya tidak lulus tes dan harus turun kelas yaitu kelas V MI. Itulah sejarah kegagalan saya pertama kali dalam pendidikan. Tapi mungkin itulah yang terbaik untuk saya, sebab ketika saya sudah masuk kelas V MI. Di sanalah saya dipertemukan dengan teman-teman yang genius dan brilian.
 
Sebagai santri baru, tentunya semangat yang menggebu-gebu terus mengalir dan tertanam kuat dalam diri saya untuk menjadi santri Bata-Bata, menjadi santrinya Kiai Abdul Hamid.

Seperti santri kebanyakan, saya pun tidak pernah melewatkan ngaji langsung ke beliau. Yaitu ngaji Tafsir Jalalain setiap sore di Mushallah.

Siraman motivasi yang beliau berikan disela-sela mengaji Tafsir Al-Qur’an itulah yang saya rindukan pada saat itu pun sampai sekarang. Sayang kesempatan itu hanya berkisar empat tahun saja karena setelah itu beliau mengalami sakit yang membuat beliau uzur untuk mengajari langsung para santri-santrinya.

Selama empat tahun itulah saya belajar langsung ke beliau, belajar tentang kehidupan, belajar selalu optimis dalam mengarungi kehidupan dan masa depan. Mengenai hal itu beliau sering mengutip hadis yang berbunyi “Apabila engkau memiliki sebiji kurma di tanganmu maka tanamlah. Meskipun besok akan kiamat…”itulah bagian kata-kata bijak yang sering disematkan disela-sela mengaji tafsir di mushallah yang terus terniang di telinga saya sampai saat ini. Sehingga seburuk apapun keadaan, tidak akan membuat saya pesimis untuk melakukan apa yang seharusnya saya lakukan.Itulah diantara sosok beliau yang mana dawuh-nya selalu mencerahkan dan menggerakkan.
 
Bukan itu saja, kesederhanaan dalam berpenampilan (hal ini bukan hanya kiai Hamidtapi mungkin secara umum keluarga besar pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata seperti itu) juga menjadi salah satu catatan saya yang menyadarkan saya bahwa melihat sesuatu tidak hanya dilihat dan dinilai dari luarnya saja melainkan lebih pada subtansinya, tidak hanya melihat kuantitasnya tapi lebih pada kualitasnya dan tidak hanya melihat apa yang disampaikan tapi apa yang dikerjakan.Sehingga menurut saya dari situlah yang membedakan antara yang hanya sekedar kiai (karena atributnya) dengan kiai yang memang pantas disebut ulama.

Seperti itulah sosok kiai Abdul Hamid dan para masyayikh di Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata kebanyakan,yang tidak hanya menyampaikan pesan kebaikan kepada santri-santrinya melalui apa yang tersurat tapi lebih pada apa yang tersirat.

Selain beberapa pengalaman di atas, kesan lain bagi saya terhadap kiaiku RKH. Abdul Hamid adalah dari sisi humanisme. Beliau yang melihat orang lain tidak lebih rendah dari diri beliau, meski orang lain tersebut tidak lain adalah santri atau bahkan para khodimnya sendiri. Hal itu juga yang saya lihat dan rasakan dari para putra Kiai Hamid dan saya yakinhal demikian hasil dari didikan beliau kepada para putranya.

Mungkin saya bisa menilai seperti ini dan saya rasa tidak berlebihan karena saya pernah menjadi salah satu santri yang pernah kenal dekat dengan salah satu putra beliau yaitu Gus Thohir Zain.  Kenapa saya katakan dekat, karena saya bukan hanya sekedar menjadi santrinya melainkan juga sebagai murid atau anak didiknya.  Sebab sejak kelas 1 MA beliau mulai mengajar langsung di kelas saya. ditambah lagi saya adalah bagian dari santri yang mengaji langsung kitab Alfiah Ibnu Malik tiap-tiap habis maghrib saat itu.

Mulai saat itulah beliau mengenal saya, dan setelah itu pada tahun 2010-2011 saya terpilih menjadi wakil derektur (wakil ketua) di M2KD, yang mau tidak mau saya harus sering sowan membicarakan dan menerima intruksi dari beliau berkaiatan dengan ke M2KD-an. Yang paling berkesan dan tidak saya lupakan ialah pada tahun 2011-2012 pada saat itu saya menjabat sebagai direktur (ketua) M2KD oleh beliau saya diminta untuk melayani beliau selama liburan karena para khodim yang biasa melayani beliau sedang pulang ke rumahnya masin-masing.

Dan selama Gus Thohir menyuruh sesuatu kepada siapapun termasuk saya,beliau tidak segan-segan berucap terima kasih.[h2]  Bahkan kadang tidak segan-segan beliau memberi sesuatu sebagai imbalan. Hal itu yang membuat dada saya sesak entah apa yang bisa saya balaskan untuk beliau nantinya. Sekali lagi ini tidak lain adalah didikan dari Kiyai Abdul Hamid yang menurut cerita para khodimnya kiyai Hamid mempuyai kebiasaan, yaitu konon ketika beliau pulang dari undangan beliau menghampiri dan tidak segan-segan memberikan apa yang beliau bawa.

Mungkin ini adalah hal kecil bagi sebagian orang, tapi menurut saya ini adalah hal besar yang mungkin patut bagi saya sebagai santrinya untuk meneladaninya, karena sepengetahuan saya,sudah jarang saya menemukankiyai yang menyempatkan diri untuk sekedar menyapa para khodimnya apalagi sampai berbagi.

Ya begitulah sosok keperibadian Kiai Abdul Hamid dan para pengasuh di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, tak terkecuali para putra-putranya yang begitu ramah dan menghargai orang lain termasuk kepada para santrinya.

Dan karena sikap keramahan dan kepedulian beliau itulah ternyata membuat orang lain tambah segan kepada beliau. Sehingga muncul sebuah ungkapan yang yang disandangkan kepada beliau yaitu sifat mahabbah dan haibah.(dicintai dan disegani), maka tidaklah heran jika banyak orang yang ingin selalu sowan, bertemu langsung dengan beliau tapi kadang dihantui rasa takut atau lebih tepatnya malu kepada beliau.
 
Dan suatu hal lagi sifat melekat pada diri kiyai Abdul Hamid yaitu sifat pemberani atas kebenaran. Bahkan beliau sering berpesan kepada para santri yang hendak menjalankan tugas pengabdian (guru tugas). Beliau berpesan kepada mereka agar jangan menjadi penakut selama hal itu benar.

Selain pemberani, Kiyai Abdul Hamid juga sangat tegas atas kesalahan yang tidak bisa ditolerin. Tidaklah heran jika di Pondok Pesantren terdapat beberapa larangan yang jika dilanggar konsekuensinya adalah dipulangkan. Saya rasa itu tidaklah berlebihan dan bukan berarti tidak toleran terhadap kesalahan orang lain. Mengenai hal itu beliau Kiyai Abdul Hamid sering mengutip ayat وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُون (Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang me­ngerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta.) sehingga bisa saya  simpulkan bahwa kadang kita harus tega dan tidak memberikan kesempatan jika hal itu sudah terlambat.

Ternyata hal itu pun yang terjadi pada Rasulullah SAW, yang katanya Rasulullah mempunyai sifat sabar, pemaaf dan lemah lembut, ternyata jika ada orang yang berbuat kesalahan besar kepada beliau dan kesalahannya tidak bisa ditolerin, maka Rasulullah tidak segan-segan mengambil sikap tegas yaitu menutup pintu maaf untuknya. Hal yang demikian terjadi kepada Zuhair bin Ka’ab. Sejarah mencatat ketika Zuhair menghinanya, Zuhair mengatakan Rasulullah gila, minum khamar sampai mabuk sehingga omongannya ngawur dan berbagai hinaan lainnya. Sehingga para sahabat mendengar dan meminta izin untuk mencari Zuhair dan akan membunuhnya. Ternyata Rasullullah mengizinkan, walau akhirnya Zuhair diam-diam datang menemui rasulullah dan meminta maaf dan akhirnya ia masuk Islam dan Rasulullah pun memaafkan.

Hal itu juga yang menimpa suku Mudlor yang menghina dan mencacimaki Rasulullah SAW dan Rasulullah marah dan melaknat serta berdoaاللهم اجعلها عليهم سنين كسني يوسف (Ya Allah jadikanlah tahun-tahun mereka seperti tahun-tahunnya Nabi Yusuf)Walaupun ujung-ujungnya mereka minta maaf dan Rasulullah pun memaafkan.

Begitulah ketegasan Rasulullah SAW yang mana meski Rasulullah dikenal dengan sifat penyabar dan pemaaf namun ternyata Rasulullah tidak kaku manakala harkat dan martabatnya dihina dan dilecehkan.

Demikian juga dengan Kiyaiku RKH. Abdul Hamid yang tidak hanya mempunyai sifat dengan lemah lembut saja, tapi beliau juga tegas dalam menyelesaiakan sebuah permasalahan.

Jujur menjadi bagian dari santrinya adalah kebanggaan tersendiri bagi saya. Kebanggaan itu terus tertanam dalam hati saya pun sampai sekarang, tidak lekang sedikitpun oleh waktu dan jarak. Mungkin suatu keberuntungan bagi orang seperti saya yang bisa nyantri, mengaji dan belajar kehidupan dari beliau. Sungguh walau tidak secara langsung beliau mengajari bagaimana menyikapi dan mejalani hidup, namun melalui untaian-untaian pesan hikmah yang penuh makna yang beliau sampaikan disela-sela mengaji tafsir atau dari cerita-cerita guru dan putra-putra beliau membuat saya paham siapa saya, dari mana saya, untuk apa saya dan mau kemana saya.

Akhirnya, sebagai salah satu santrinya saya hanya mengharap ridho dan barokah serta mengharap mudah-mudahan Allah SWT memberikan kesembuhan dari kiaiku RKH. Abdul Hamid. Semoga bukan hanya di dunia saja saya diakui sebagai santrinya pun di akhirat kelak. Amin….
“Maafkan Jika Hanya Doa yang Dapat Kuberikan”
(Abi_Hilya Berau Kaltim, 14 Desember 2016)


4 komentar:

 
Copyright © 2016 Abi Hilya